Pemikiran Sunni Zaman Dawlah Abbasiyah
Pemikiran Politik Sunni di Masa Dawlah 'Abbasiyah
Pendahuluan
Sunni, sebutan pendek
Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, adalah nama sebuah aliran pemikiran (school of
thought) yang mengklaim dirinya sebagai pengikut sunnah (the follower
of the sunnah) [2], yaitu sebuah jalan keagamaan yang mengikuti Rasulullah
dan sahabat-sahabatnya, sebagaimana dilukiskan dalam hadith: "Ma ana
'alaih wa ashabi". Jama'ah berarti
mayoritas, sesuai dengan tafsiran Sadr al-Sharih al-Mahbubi, yaitu 'ammah
al-muslimun (umumnya umat Islam) dan al-jama'ah al-kathir wa al-sawad al-'azm
(jumlah besar dan khalayak ramai).
Paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah sebenarnya sudah
terformat sejak masa awal Islam yang ajarannya merupakan pengembangan dari
dasar pemikiran yang telah dirumuskan sejak periode sahabat dan tabi'in. Yaitu
pemikiran keagamaan yang menjadikan hadith sebagai rujukan utamanya setelah
al-Qur'an. Nama ahl al-hadith diberikan sebagai ganti ahl al-Sunnah wa-Jama'ah
yang pada saat itu masih dalam proses pembentukan dan merupakan
antitesis dari paham Khawarij dan Mu'tazilah yang tidak mau
menerima al-hadith (al-Sunnah) sebagai sumber pokok ajaran agama Islam.
Istilah ini (ahl al-Sunnah wa-Jama'ah) awalnya merupakan
nama bagi aliran Asy'ariyah dan Maturidiah
yang timbul karena reaksi terhadap paham Mu'tazilah yang pertama kali
disebarkan oleh Wasil bin Ato' pada tahun 100 H/ 718 M dan mencapai puncaknya
pada masa khalifah 'Abbasiyah, yaitu al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tasim
(833-842 M) dan al-Wasiq (842-847 M). Pengaruh ini semakin kuat ketika paham
Mu'tazilah dijadikan sebagai madzab resmi yang di anut negara pada masa al-Ma'mun.
Pembahasan
Kaum sunni pada dasarnya adalah kelompok yang ikut andil
besar dalam menggulingkan dawlah Amawiyah(umayah) dan mendukung kepemimpinan Bani 'Abbasiyah
bersama golongan Khawarij, Shi'ah dan orang-orang non Arab. Sehingga mereka
harus bersaing dengan kelompok Shi'ah (yang didominasi orang-orang Persia)
dalam memperoleh akses kekuasaan ketika bani 'Abbasiyah berkuasa.
Kaum Shi'ah memperoleh angin ketika di awal pemerintahan
'Abbasiyah dengan diadopsinya paham ini sebagai paham negara dan dihembuskannya
kembali paham Imamah oleh penguasa untuk memperoleh dukungan yang luas terhadap
pemerintahan mereka. Hal ini berlangsung terus sampai pemerintahan Khalifah
al-Mahdi (775-785 M). Dan selama pemerintahan tersebut posisi Sunni benar-benar
terjepit.
Pada masa pemerintahan al-Ma'mun, hubungan Sunni dan
Mu'tazilah adalah hubungan antagonistik. Hal ini terjadi terutama pada saat
paham Mu'tazilah dijadikan paham negara al-Ma'mun dan al-Mu'tasim. Pada saat
itulah dipaksakanlah keyakinan bahwa al-Qur'an adalah makhluq (Mihnah/ujian
aqidah/inkuisisi) bagi setiap
orang Islam dengan segala resiko bagi yang tidak mengikutinya. Akibatnya banyak
diantara ulama yang semula bersikap menolak, terpaksa harus menerimanya. Ahmad
ibn Hanbal dan Muhammad Nuh adalah sebagian kecil dari kaum ulama yang
bersikeras tetap menolaknya. Persilihan antara golongan ahl-al-Hadith (Sunni)
dengan Mu'tazilah yang semula dilatarbelakangi isu-isu teologis berubah menjadi
kepentingan politik untuk memasyarakatkan ideologinya. Konflik itu oleh W.
Montgomery Watt disebut sebagai konflik antara kelompok Autokritik (Mu'tazilah)
dengan kelompok Konstitusionalis (Sunni).
Tatkala al-Mutawakil (847-864) berkuasa, ia melihat bahwa
posisinya sebagai khalifah perlu mendapatkan dukungan mayoritas. Sementara,
setelah peristiwa mihnah terjadi mayoritas masyarakat adalah pendukung dan
simpatisan Ibn Hanbal. Oleh karenanya al-Mutawakil membatalkan paham Mu'tazilah
sebagai paham negara dan menggantinya dengan paham Sunni. Pada saat itulah
Sunni mulai merumuskan ajaran-ajarannya. Salah seorang tokohnya, al-Shafi'i
munyusun 'Ushul al-Fiqh yang di dalamnya mengandung ajaran tentang Ijma' dan
Qiyas. Dalam bidang Hadith lahir tokoh Bukhari dan Muslim. Dalam bidang Tafsir,
lahir al-Tabbari dan Ibn Mujahid. Pada masa inilah kaum Sunni menegaskan
sikapnya terhadap posisi Uthman dan 'Ali dengan mengatakan bahwa masyarakat
terbaik setelah nabi adalah Abu Bakar, Umar, Uthman dan 'Ali.
Berbeda dengan Mu'tazilah, pertikaian antara Sunni (Ahl
al-Hadith) dan Shi'ah selalu diwarnai demensi politik. Mereka berusaha bersaing
untuk menggunakan lembaga negara sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran-ajaran
yang dirumuskan oleh para tokohnya. Diantara para tokohnya adalah Khalifah
al-Buyid (945-1055 M) yang mengeluarkan doktrin tentang tidak adanya imam
ke-12. Pada masa inilah muncul tokoh yang mengklaim dirinya sebagai pelopor
dari lahirnya Sunni, yaitu al-Qadir (keturunan Khalifah al-Muqtadir), yang
menerbitkan Risalat al-Qadiriyyah yang berisikan tentang doktrin-doktrin ajaran
Sunni dan menyatakan bahwa negara melarang penyebaran doktrin "kemahlukan
al-Qur'an" karena bertentangan dengan ideologi negara dan mayoritas warga
yang perpaham Sunni. Pengaruh Sunni terus berkembang terutama setelah tahun
1055 ketika Baghdad ditahlukkan oleh Dinasti Saljuk-Turki. Pada abad 11 inilah
dimulainya abad kebangkitan kembali kaum Sunni.
Pada saat itu juga telah dikembangkannya konsep
kepemimpinan oleh para tokoh-tokoh Sunni. Diantaranya adalah seorang khalifah
harus dipilih oleh rakyat (masyarakat). Tetapi beberapa tokoh lain
memperbolehkan penunjukkan khalifah oleh khalifah sebelumnya yang penting
memenuhi syarat-syarat tertentu, diantaranya, dia harus seorang yang adil,
berilmu, sehat lahir batin, dari keturunan suku Quraish dari bani Hasyim atau
Umayyah.
Pandangan semacam tersebut bisa dilihat dari
gagasan-gagasan yang telah dimunculkan oleh 'Abdullah ibn al-Muqaffa', seorang
sekretaris negara di masa pemerintahan Abu Ja'far al-Mansur (754-755 M)
sebelumnya. Juga pemikiran Imam Abu Yusuf, seorang qadi (hakim) di zaman
al-Mahdi (775-785 M) dan Harun al-Rasyid (786-809 M) yang tertulis dalam kitab
al-Kharaj yang berisi tentang teori keuangan negara. Secara umum, pemikiran
kelompok Sunni menekankan pada ketaatan absolut terhadap khalifah yang sedang
berkuasa, sebab ia dipandang sebagai khalifah yang suci sebagaimana konsep
Imamah dalam Shi'ah. Hal yang perlu dicatat di sini adalah, meskipun bani
'Abbasiyah bercorak Sunni namun mereka mengadopsi teori Imamah-nya kaum Shi'ah
untuk mendukung pemerintahannya.
Pemikir lainnya dari Sunni 'Abbasiyah adalah Ahmad ibn
Yusuf, dia menulis surat yang terkenal yaitu Risala al-Khamis yang
dipersembahkan kepada khalifah al-Ma'mun yang berisikan propaganda 'Abbasiyah,
yang berisikan pernyataan yang berusaha meyakinkan khalifah bahwa memang yang
berhak mewarisi kepemimpinan rasul adalah keturunan 'Abbasiyah. Hingga puncak
pemikiran Sunni 'Abbasiyah adalah dituliskannya Kitab al-Ahkam al-Sultaniyyah
oleh al-Mawardi pada masa Buwayhid yang merebut Baghdad dari kekuasaan al-Qadir
yang berisikan tentang konsep imamah, suksesi, kepangkatan dan keistimawaan,
tugas dan fungsi imam, turun tahta dan teori tentang pemberontakan.
Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa institusi imamah
adalah kebutuhan yang didasarkan pada syariah agama bukan hanya pertimbangan
rasio belaka. Pengangkatan seorang imam harus melalui konsesus ummat.
Al-Mawardi merinci bahwa idealnya seorang imam harus memiliki 7 kriteria,
diantaranya adalah bahwa ia harus keturunan suku Quraysh, perlunya pembentukan
lembaga pemilihan umum dan kualifikasi para pengelolanya, hak suara harus
diberikan kepada seluruh umat Islam, tidak hanya yang berada dalam kota-kota
besar, seorang imam bisa dipilih dengan 2 cara, lewat lembaga pemilihan umum
dan lewat penunjukan imam yang sedang berkuasa.
Al-Mawardi berpendapat bahwa
seorang khalifah pada dasarnya cukup di pilih seorang saja. Pendapat ini
didasarkan fakta sejarah bahwa Abu Bakr dan Uthman hanya dipilih oleh 5 orang
dan juga tradisi dari 'Abbas. 'Abbas pernah berkata kepada 'Ali:
"Angkat tanganmu, aku akan bersumpah setia padeamu,
dan ketika semua orang tahu bahwa paman nabi telah bersumpah setia kepada
keponakannya, maka tidak akan ada seorangpun yang akan keberatan terhadap
kepemimpinanmu".
Kesimpulan
Secara singkat dapat dikatakan bahwa pemikiran politik
Sunni pertama kali muncul sebagai respon reaktif terhadap pemikiran-pemikiran
Shi'ah dan Khawarij pada masa khalifah 'Ali ibn Abi Thalib.
Dalam proses pembentukannya, ideologi Sunni ternyata tidak
dapat dilepaskan dari pemikiran keagamaan mereka dan adanya
ketegangan-ketegangan dengan golongan lain untuk memperoleh pengakuan dari
penguasa. Dalam masa formal ideologi Sunni tersebut, misalnya telah terjadi
polemik intelektual antara al-Syafi'I dengan ulama-ulama Khawarij dan
Mu'tazilah, dan perebutan mencari pengaruh politik dari para khalifah yang
sedang berkuasa.
Diperlukan waktu hampir 5 abad untuk sampai pada proses
terbentuknya pemikiran politik Ahl al-Sunnah ini, terhitung sejak mulai
diperkenalkannya pada masa awal Islam, sahabat, tabi'in sampai pada
pengukuhannya dalam Risalah al-Qadiriyyah.